oleh: Nunun Budiarti, SP.
(Guru SMA Negeri 2 Bantan)
Indonesia memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Atas (SMA) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Karakter tidak bisa dibentuk dan dibangun dalam waktu yang singkat. Membangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Karakter yang melekat pada bangsa Indonesia akhir-akhir ini bukan begitu saja terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses panjang.
Negara kita memberikan perhatian yang besar akan pentingnya pendidikan akhlak mulia (pendidikan karakter) di sekolah dalam membantu membumikan nilai-nilai agama dan kebangsaan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan kepada seluruh peserta didik. Hal ini ditegaskan melalui arah dan tujuan pendidikan nasional seperti diamanatkan oleh UUD 1945, yakni peningkatan iman dan takwa serta pembinaan akhlak mulia para peserta didik yang dalam hal ini adalah seluruh warga negara yang mengikuti proses pendidikan di Indonesia.
Upaya yang bisa dilakukan untuk pembinaan karakter siswa di sekolah di antaranya adalah dengan memaksimalkan fungsi mata pelajaran pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama dapat dijadikan basis untuk pembinaan karakter siswa tersebut.
Guru pendidikan agama (guru agama) bersama-sama para guru yang lain dapat merancang berbagai aktivitas sehari-hari bagi siswa di sekolah yang diwarnai nilai-nilai ajaran agama. Dengan cara ini, siswa diharapkan terbiasa untuk melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan yang pada akhirnya dapat membentuk karakternya.
Secara etimologis, kata karakter bisa berarti tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, atau watak (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang memiliki watak, kepribadian, budi pekerti, atau akhlak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan- bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Doni Koesoema, 2007: 80).
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya ia menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education).
Pembudayaan karakter (akhlak) mulia perlu dilakukan dan terwujudnya karakter (akhlak) mulia yang merupakan tujuan akhir dari suatu proses pendidikan sangat didambakan oleh setiap lembaga yang menyelenggarakan proses pendidikan. Budaya atau kultur yang ada di lembaga, baik sekolah, kampus, maupun yang lain, berperan penting dalam membangun akhlak mulia di kalangan sivitas akademika dan para karyawannya. Karena itu, lembaga pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendidikan akhlak (pendidikan moral) bagi para peserta didik dan juga membangun kultur akhlak mulia bagi masyarakatnya.
Untuk merealisasikan akhlak mulia dalam kehidupan setiap orang, maka pembudayaan akhlak mulia menjadi suatu hal yang niscaya. Di sekolah atau lembaga pendidikan, upaya ini dilakukan melalui pemberian mata pelajaran pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan etika, atau pendidikan karakter.
Akhir-akhir ini di Indonesia misi ini diemban oleh dua mata pelajaran pokok, yakni Pendidikan Agama (PA) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kedua mata pelajaran ini nampaknya belum dianggap mampu mengantarkan peserta didik memiliki akhlak mulia seperti yang diharapkan, sehingga sejak 2003 melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 dan dipertegas dengan dikeluarkannya PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah menetapkan bahwa setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran mempengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik (PP No. 19 tahun 2005 Pasal 6 ayat 4). Pada Pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. Hal yang sama juga dilakukan untuk kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian (PP No. 19 tahun 2005 Pasal 7 ayat 2).
Pembinaan karakter siswa di sekolah berarti berbagai upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam rangka pembentukan karakter siswa. Istilah yang identik dengan pembinaan adalah pembentukan atau pembangunan. Terkait dengan sekolah, sekarang sedang digalakkan pembentukan kultur sekolah.
Salah satu kultur yang dipilih sekolah adalah kultur akhlak mulia. Dari sinilah muncul istilah pembentukan kultur akhlak mulia di sekolah.
Bagaimana cara menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak-anak disimpulkannya menjadi tujuh cara yang harus dilakukan anak untuk menumbuhkan kebajikan utama (karakter yang baik), yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun.
Meskipun sasaran buku ini adalah anak-anak, namun bukan berarti tidak berlaku untuk orang dewasa, termasuk para siswa di SD hingga SMA. Dengan kata lain tujuh kebajikan yang ditawarkan oleh Michele Borba ini berlaku untuk siapa pun dalam rangka membangun kecerdasan moralnya.
Dalam salah satu bukunya, 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings (1995), Howard Kirschenbaum menguraikan 100 cara atau strategi untuk dapat meningkatkan nilai dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah. 100 cara ini oleh Kirschenbaum dikelompokkan ke dalam lima metode, yaitu: 1) inculcating values and morality (penanaman nilai-nilai dan moralitas); 2) modeling values and morality (pemodelan nilai-nilai dan moralitas); 3) facilitating values and morality (memfasilitasi nilai-nilai dan moralitas); 4) skills for value development and moral literacy (ketrampilan untuk pengembangan nilai dan literasi moral; dan 5) developing a values education program (mengembangkan program pendidikan nilai).
Dari pendapat Kirschenbaum ini maka guru pendidikan agama termasuk para guru yang lain bersama-sama dengan sekolah perlu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pembinaan karakter siswa melalui pemaksimalan peran pendidikan agama.
Guru agama bersama guru-guru mata pelajaran lain perlu merancang pembelajaran agama di kelas dan di luar kelas yang dapat memfasilitasi siswa agar dapat membiasakan karakter atau akhlak mulia.
Sementara itu, Darmiyati Zuchdi menekankan pada empat hal dalam rangka penanaman nilai yang bermuara pada terbentuknya karakter (akhlak) mulia, yaitu inkulkasi nilai, keteladanan nilai, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan akademik dan sosial (Darmiyati Zuchdi, 2008: 46-50). Darmiyati menambahkan, untuk ketercapaian program pendidikan nilai atau pembinaan karakter perlu diikuti oleh adanya evaluasi nilai. Evaluasi harus dilakukan secara akurat dengan pengamatan yang relatif lama dan secara terus-menerut (Darmiyati Zuchdi, 2008:55).
Untuk SMA-SMA Negeri kultur sekolah untuk membentuk karakter terpuji tidaklah monolitik kepada satu agama, karena sifatnya sebagai sekolah publik (milik negara) sehingga para siswanya cenderung plural dari keyakinan agamanya.
Selain dalam bentuk kegiatan ibadah dan keagamaan, pembentukan kultur sekolah untuk membentuk karakter siswa antara lain dengan pemberian sanksi atas pelanggaran terhadap larangan-larangan yang ditetapkan sekolah, dan pemberian penghargaan atas prestasi siswa.
Sanksi-sanksi atas tiap pelanggaran larangan dikenakan butir-butir bobot sanksi mulai yang terberat hingga yang paling ringan. Sanksi paling ringan berupa peringatan lisan, sedangkan sanksi paling berat berupa dikembalikannya siswak epada orang tuanya.Tata tertib SMA Negeri 2 Bantan juga memberikan pedoman nilai terhadap penerapan sanksi atas pelanggaran tata tertib siswa. Komponen pedoman penilaian meliputi unsur jenis pelanggaran (1) Kelakuan, (2) Kegiatan Belajar Mengajar, (3) Keagamaan, (4) Asesoris, (5) Rokok/Narkoba/Barang Terlarang/Tindakan Asusila, (6) Ancaman/Perkelahian/Penganiayaan/Senjata Tajam, (7) Kerajinan, (8) Kerapian, dan penggunaan, dan (9) Alat Transportasi.
Segala jenis pelanggaran oleh siswa diikuti dengan pembinaan-pembinaan dan sanksi-sanksi berdasarkan jenis dan tingkat poin (skor) pelanggarannya. Sanksi- sanksi berupa (1) peringatan lisan, (2) skorsing selama satu hari, (3) skorsing selama dua hari, dan (4) skorsing selama enam hari. Pembinaan dilakukan secara bertingkat terhadap semua jenis pelanggaran sesuai jumlah poin pelanggaran.
Para pembina dari pihak sekolah mulai dari pendidik (guru), wali kelas, guru Bimbingan Konseling (BK), Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan, Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum, Kepala Sekolah, hingga orang tua siswa sendiri.
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan di sekolah meliputi: (1) Ketaatan untuk beribadah kepada Tuhan, (2) Kepatuhan pada aturan yang bersumber pada kitab suci, (3) Selalu menerima apa yang ada, (4) Selalu bersyukur kepada Tuhan, (5) Keadilan dalam segala hal, (6) Rasa hormat/respek kepada orang lain, (7) Empati kepada orang lain, (8) Kedisiplinan, (9) Kejujuran, (10) Keikhlasan/ketulusan dalam berbuat, (11) Suka memaafkan orang lain, (12) Kesabaran, (13) Keberanian dalam membela kebenaran, (14) Tanggung jawab, (15) Sopan santun, (16) Toleransi antar umat beragama, (17) Kepedulian pada sesama, (18) Persatuan, dan (19) Menjauhi perilaku-perilaku tercela.
Pengembangan karakter siswa SMA berbasis pendidikan agama dalam penelitian ini mencakup sejumlah kegiatan kurikuler dan pengembangan kultur sekolah. Kegiatan kurikuler terdiri atas pembelajaran intrakurikuler dan kokurikuler serta kegiatan ekstrakurikuler. Sedang pengembangan kultur sekolah meliputi kawasan partisipasi dan pelibatan segenap unsur sekolah, mulai dari pimpinan, karyawan, guru, siswa, orangtua siswa, dan masyarakat sekitar dalam mendukung program pendidikan karakter sekolah.
SMA Negeri 2 Bantan telah mengembangkan pendidikan karakter berbasis pendidikan agama, meskipun terdapat perbedaan dalam implementasinya oleh masing- masing guru. Dalam hal ini, pimpinan, karyawan, guru harus saling bekerja sama demi terwujudnya siswa yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur. Amiiin.
Sumber: Rilis